Hi, learners! Bagi para mahasiswa baru atau biasanya disebut maba, euforia menjadi mahasiswa tentunya tidak asing lagi. Namun, sayangnya, seringkali euforia tersebut dibayangi oleh kekhawatiran perpeloncoan selama kegiatan OSPEK. Apakah kalian juga pernah atau sedang mengalami hal tersebut?
OSPEK: Definisi & Tujuan
Jadi, apa sebenarnya OSPEK itu? OSPEK atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus, seperti namanya, merupakan kegiatan yang dikhususkan bagi mahasiswa baru agar mereka lebih mengenal sistem perkuliahan dan institusi dimana mereka akan belajar.
Istilah lain yang sering dikaitkan dengan OSPEK yaitu perpeloncoan. Dalam KBBI diartikan sebagai pengenalan dan penghayatan lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikiskan) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya.
Berdasarkan kedua definisi tersebut, OSPEK tidak bermakna atau bertujuan negatif, justru bertujuan positif. Intinya adalah menjembatani maba untuk lebih mudah beradaptasi dengan dunia perkuliahan.
Dalam perspektif pendidikan, OSPEK dijadikan sebagai sarana mengedukasi maba, antara lain tentang sistem kredit atau sks di universitas, bagaimana cara mengontrak mata kuliah, dan mungkin pengenalan klub di universitas tersebut.
Selain itu, juga berkenalan dengan kakak tingkat atau kating atau senior yang mungkin memberikan informasi, serta tips and tricks dalam menghadapi mata kuliah atau dosen tertentu.
Kasus Perpeloncoan dalam OSPEK
Walaupun tujuan OSPEK bersifat edukatif, tidak dipungkiri seringkali terjadi penyimpangan selama kegiatan tersebut, antara lain terjadinya perundungan oleh kating terhadap maba atau perpeloncoan dalam konotasi negatif.
Sebenarnya perpeloncoan tidak hanya terjadi bagi maba di perguruan tinggi. Hal ini juga terjadi di sekolah maupun inisiasi ketika ingin menjadi anggota klub atau perkumpulan tertentu. Namun, pada artikel ini, kita hanya akan membahas kasus yang terjadi di perguruan tinggi, yang ternyata telah terjadi sejak puluhan tahun lalu di Indonesia (Nurhadi, 2022).
Apa saja kasus perpeloncoan atau perundungan yang pernah terjadi pada OSPEK di perguruan tinggi? Berikut beberapa kasus perpeloncoan selama OSPEK.
Kekerasan Mental
Dibentak, dihina, atau bentuk verbal abuse lainnya. Misalnya, ketika ada yang tidak mengenakan atribut sesuai dengan ketentuan. Teguran sebenarnya dapat dilakukan tanpa membentak dan mencecar dalam durasi yang lama atau seringkali diiringi dengan gebrakan meja (Ningrum, 2019). Ada Pula yang menyatakan senior membentak persis di depan wajah.
Tindakan lain perpeloncoan dalam bentuk verbal yaitu memanggil nama yang menyinggung dan menunjukkan diskriminasi. Lebih lanjut, tindakan yang bersifat sengaja mempermalukan juga termasuk verbal abuse, seperti diminta mengenakan atribut yang memalukan.
Kekerasan Fisik
Selain dalam bentuk kekerasan mental, ada pula perpeloncoan yang berbentuk kekerasan fisik, antara lain lari dalam jarak yang cukup jauh, push-up atau sit-up, hingga tamparan dan pukulan. Mungkin untuk lari, push-up, atau sit-up akan diterima apabila tidak berlebihan dan tidak disertai larangan untuk minum ketika lelah.
Tidak semua maba memiliki kondisi fisik yang baik atau terbiasa olahraga. Paksaan untuk melakukan kegiatan fisik terlalu berat secara mendadak dapat berbahaya. Apalagi ada beberapa perpeloncoan yang diiringi dengan larangan minum hingga jam makan siang, menyebabkan kemungkinan untuk dehidrasi meningkat.
Terkait makan dan minum. Ada pula yang dipaksa untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak seharusnya. Misalnya, meminum ludah senior atau teman maba lainnya, dipaksa minum miras, makan dengan durasi yang tidak wajar, atau bahkan makan kotoran.
Bahkan ada yang menyatakan diizinkan minum, hanya beramai-ramai dengan teman maba lainnya dalam wadah yang sama. Masalah kesehatan sepertinya tidak terlalu dipedulikan disini.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Ada beberapa alasan terjadinya perpeloncoan tiap generasi, misalnya balas dendam. Mungkin tidak asing lagi dengan ungkapan, ““Kita dulu juga digituin gak apa-apa, kalian aja yang lemah!”
I just wanna say, negara kita dulu pernah dijajah dan masyarakatnya mampu bertahan hidup. Tapi, bukan berarti generasi sekarang juga harus dijajah untuk membuktikan mereka mampu bertahan hidup, kan?
Alasan berikutnya yaitu menormalisasikan tindakan kekerasan selama OSPEK, karena dianggap hal yang wajar dan telah dilakukan turun temurun. Budaya memang penting. Banyak budaya edukatif yang patut untuk diturunkan antar generasi. Walaupun demikian, perilaku menindas bukanlah termasuk budaya tersebut.
Selanjutnya, alasan melatih kekuatan mental maba atau junior (Wulaningtyas, 2015). Alasan dengan sering dibentak akan meningkatkan kekuatan mental merupakan sesuatu yang absurd dan cara yang out-of-date. Kekuatan mental merupakan kompleksitas antara genetik dan faktor lingkungan (Lin, dkk., 2017).
Setiap orang memiliki makna kekuatan mental yang mungkin berbeda. Kepribadian, potensi, dan kompetensi pun berbeda. Apakah benar bentakan dapat meningkatkan kekuatan mental atau justru menanamkan kebencian? Bukankan OSPEK merupakan cara mengakrabkan diri bukan menambah musuh?
James Clear (2019) mengungkapkan salah satu cara meningkatkan kekuatan mental, yaitu melalui pembiasaan pada kehidupan sehari-hari. Konsistensi dan ketekunan merupakan komponen penting dalam kesehatan mental. Sedangkan Angela Duckworth (2018) menggunakan istilah grit.
Alasan lainnya adalah mendapatkan respek dari junior atau maba. Namun, harus kita ingat bahwa respek dan kewibawaan bukan hadir karena rasa takut. Rasa takut memang menghadirkan kepatuhan lebih cepat. Namun, walaupun respek lebih sulit diperoleh, hal tersebut akan bertahan lebih lama dibandingkan rasa takut.
Dampak Perpeloncoan dalam Kegiatan OSPEK
Terdapat berbagai macam dampak perpeloncoan dan bullying dalam kegiatan OSPEK, baik bagi pelaku, korban, maupun bagi masyarakat umum.
Bagi Pelaku
Hal yang paling umum akan berdampak pada pelaku perpeloncoan adalah sanksi sosial, seperti nama tercemar, dijauhi, hingga hilangnya relasi di masa depan. Perlu diingat, institusi pendidikan tinggi bukan hanya tempat memperoleh pengalaman akademik. Tapi, juga membangun relasi sesuai bidang yang kita tekuni.
Tindakan pelaku perpeloncoan mungkin akan secara tidak sadar memutus tali relasi yang mungkin bermanfaat bagi karirnya di masa depan. Walaupun kegiatan OSPEK hanya berlangsung beberapa hari, beberapa sumber menyatakan bahwa pengalaman tersebut tertanam dalam kenangan atau memberi dampak jangka panjang (Ningrum, 2019; Syakirah & Fardiyan, 2017; Wulaningtyas, 2015)
Lebih lanjut, pelaku perpeloncoan mungkin mendapatkan sanksi dari institusi pendidikan tempat mereka melakukan perpeloncoan. Sanksi dapat berupa teguran, nasihat, skorsing, hingga dikeluarkan.
Bagi Korban
Korban perpeloncoan dilaporkan mengalami dampak fisik maupun psikis. Secara fisik misalnya kelelahan, dehidrasi, sakit (Wulaningtyas, 2015), memar, bahkan hingga kematian. Sedangkan dampak psikis yaitu trauma (Ningrum, 2019), gangguan sosial, dan tekanan mental (Wulaningtyas, 2015).
Dampak lainnya yaitu melanjutkan ‘tradisi’ perpeloncoan. Anggaplah sebagai korban yang mampu bertahan akan memiliki pandangan yang berbeda. Ada yang tidak ingin hal tersebut terulang pada junior mereka kelas, ada pula yang merasa junior mereka nantinya perlu merasakan hal yang sama.
Bagi Masyarakat Umum
Bagaimana dengan masyarakat umum? Masyarakat umum tidak terlepas dari dampak terjadinya perpeloncoan. Misalnya, perilaku meremehkan perilaku yang salah, selama sistem menganggapnya benar. Artinya, mungkin akan menjadi blind followers bagi sistem yang salah (Syakirah & Fardiyan, 2017).
Dampak lainnya yaitu ‘tradisi’ perpeloncoan akan semakin marak terjadi, tidak hanya di lingkungan perguruan tinggi. Namun, pelajar yang lebih muda melihat contoh tersebut, mungkin akan menerapkannya di lingkungan sekolah. Bullying (perundungan) dan hazing (perpeloncoan) dapat terjadi di lingkungan TK hingga SMA pula.
Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Apa yang seharusnya kita lakukan dalam menghadapi kasus perpeloncoan?
Sebenarnya sudah ada beberapa sanksi yang telah diberikan pada pelaku perpeloncoan, seperti teguran atau peringatan, skorsing, hingga dikeluarkan. Walaupun demikian, ‘budaya’ perpeloncoan selama OSPEK sepertinya masih menjadi lingkaran setan di perguruan tinggi.
Di sisi lain ada perilaku perpeloncoan yang mungkin tidak dilaporkan. Ketika mengalami perpeloncoan, alasan maba tidak melaporkan bukan hanya menganggap hal tersebut wajar. Tapi, juga sebagian karena rasa takut akan tindakan lain yang akan dilakukan senior ketika maba melaporkan mereka.
Oleh karena itu, pendidikan tentang perilaku perpeloncoan sebaiknya diberikan sejak dini. Bagi anak-anak perlu dikenalkan tentang perpeloncoan dan perundungan, serta resiko tindakannya. Penting pula untuk diberikan persiapan menghadapi perilaku perpeloncoan dan perundungan, yaitu keberanian untuk melawan, melaporkan, dan meminta bantuan ketika mengalami hal tersebut (Gordon, 2021).
Bagaimana dengan pendidikan untuk mahasiswa senior? Sama halnya dengan pendidikan bagi anak. Mahasiswa senior, terutama yang menjadi panitia kegiatan OSPEK perlu dibekali dengan pemahaman dampak perundungan atau perpeloncoan.
Tekankan bahwa OSPEK merupakan wahana adaptasi maba dalam memasuki jenjang perguruan tinggi. Bukan wahana untuk menakan atau mengagunggkan senioritas dan superioritas.
Selanjutnya, apabila fokus tindakan perpeloncoan adalah meningkatkan kekuatan mental, mungkin institusi perguruan tinggi dapat memfasilitasi mahasiswa senior dengan latihan kekuatan mental yang tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan tepat untuk diterapkan. Harapannya, hasil pelatihan tersebut akan membekali mereka dalam melatih kekuatan mental junior atau maba.
So, learners, OSPEK sebenarnya tidak apa bila dilakukan, terutama ketika bertujuan untuk mengenalkan lingkungan institusi dan juga membangun keakraban maba-mahasiswa senior. Namun, harus hati-hati dengan perilaku yang tidak seharusnya. Karena perpeloncoan yang terjadi dapat memberikan dampak bagi pelaku, korban, dan masyarakat secara umum. Adakan OSPEK yang edukatif dan positif, bukan sebaliknya!
Treat people the way you want to be treated. Talk to people the way you want to be talked to. Respect is earned, not given. -Hussein Nishah-
Referensi
- Clear, J. (2019). Atomic Habit: Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Duckworth, A. (2018). Grit: Kekuatan Hasrat dan Kegigihan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Gordon, S. (2021). Bullying and Hazing Differences: exploring the connections between bullying and hazing. Tersedia: https://www.verywellfamily.com/bullying-and-hazing-is-there-a-difference-460505
- Lin, Y., dkk. (2017). Mental Toughness and Individual Differences in Learning, Education and Work Performance, Psychological Well-Being, and Personality: Systematic Review. Frontiers in Psychology, August 2017. Vol. 8, Article 1345.
- Ningrum, A.I. (2019). Bullying dan Kekerasan(Studi Kualitatif Ospek di Fakultas Universitas Airlangga). Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
- Syakirah, F. dan Fardiyan, A.R. (2017). Kekerasan Verbal Mahasiswa Senior Terhadap Mahasiswa Junior dalam Relasi Intersubjektif. Jurnal MetaKom Vol. 1., No.1., Maret 2017.
- Wulaningtyas, F.P.A. (2015). Praktik Bullying Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Pada Masa PPKMB Mahasiswa Angkatan 2012. Jurnal Paradigma, Vol. 03, No. 02, tahun 2015.
- Nurhadi. (2022). Identik dengan Perpeloncoan dan Kekerasan, Berikut Sejarah OSPEK. Tersedia: https://tekno.tempo.co/read/1622290/identik-dengan-perpeloncoan-dan-kekerasan-berikut-sejarah-ospek
0 Comments